Kepala UNHCR sebut butuh waktu sangat lama buat penyelesaian Rohingya
Table of Contents
Dilansir dari laman Reuters, Minggu (24/9), Grandi melawat ke kamp pengungsian etnis Rohingya di Kutapalong, sebelah tenggara Bangladesh serta dekat dengan perbatasan Myanmar. sebagian etnis Rohingya menceritakan langsung kekejian pasukan serta penduduk mayoritas Buddha Myanmar pada mereka sepanjang bertahun-tahun.
Sekitar 420 ribu etnis Rohingya baik lelaki, perempuan, bayi, anak-anak hingga lansia pergi menyelamatkan diri ke Bangladesh sejak meletup konfrontasi antara kelompok Tentara Penyelamat Rohingya Arakan (ARSA) dengan pasukan Myanmar pada 25 Agustus lalu, di Negara Bagian Rakhine. PBB pun sudah mewanti pemerintah Myanmar sebab dari fakta di lapangan menunjukkan operasi militer digelar bukan bertujuan menumpas gerakan bersenjata, tetapi mengarah ke pembantaian etnis. Sejumlah etnis Rohingya di pengungsian berbagi pengalaman mengerikan mereka kepada Grandi.
"Saya benar-benar tersentak setelah tahu apa yang mereka takutkan selama ini, apa yang mereka lalui dan saksikan di Myanmar," kata Grandi.
Grandi menyatakan sejumlah pengungsi melihat langsung bagaimana anggota keluarga mereka dihabisi di depan mata.
"Keluarga mereka terpencar, pembunuhan, pemerkosaan. Banyak banget kekejian yang terjadi. Butuh waktu lama sekali buat menyembuhkan seluruh luka itu. Malah bisa lebih lama ketimbang memenuhi kebutuhan dasar mereka," kata Grandi.
PBB menyatakan setidaknya harus menggelontorkan USD 200 juta buat membantu pengungsi Rohingya di Bangladesh selama enam bulan ke depan. Relawan khawatir krisis kemanusiaan itu tidak bakal berakhir karena sikap pemerintah Myanmar yang keras kepala enggan mengurus orang Rohingya.
Etnis Rohingya dianggap sebagai kaum mengalami persekusi paling parah di dunia. Sejak 1980, pemerintah dan penduduk Myanmar mayoritas Buddha menolak mengakui mereka sebagai warga negara lantaran dianggap sebagai pendatang gelap dari Bangladesh. Namun, Bangladesh menyatakan Rohingya adalah warga Myanmar. Padahal di masa penjajahan Inggris dan kemerdekaan Myanmar pada 1948, orang Rohingya diakui sebagai warga negara.
Kekerasan belakangan terjadi di Rakhine dipicu serangan Tentara Penyelamat Rohingya Arakan (ARSA) ke pos penjagaan perbatasan pada 25 Agustus. Dalam insiden itu, 12 orang tewas.
Pemerintah Myanmar bereaksi dengan mengirim ribuan pasukan bersenjata lengkap dengan dalih operasi militer memburu teroris. Namun, menurut laporan relawan, tentara Myanmar diduga melakukan pembantaian dan pengusiran etnis Rohingya. Seluruh perkampungan orang Rohingya yang ada dijarah dan dibakar.
Di sisi lain, sikap diam mantan pejuang kemanusiaan dan demokrasi kini didapuk menjadi Penasihat Negara, Aung San Suu Kyi, terhadap etnis Rohingya juga dikritik. Padahal di masa lalu, Suu Kyi begitu lantang menyuarakan soal hak kebebasan sipil, demokrasi, dan perlawanan atas penindasan dilakukan rezim militer, hingga dianugerahi penghargaan Nobel Perdamaian pada 1991. Melihat sikapnya yang seperti mengabaikan orang Rohingya, sudah 405 ribu orang mendesak supaya penghargaan itu ditarik kembali dari Suu Kyi.
Myanmar sejak akhir 1980-an mendapat sanksi dari PBB karena kekejaman rezim Junta Militer. Namun, sebagian sanksi itu sudah dicabut karena mereka mulai menurut dengan membuka ruang bagi kalangan sipil berpolitik dan menjalankan pemerintahan.
Post a Comment